taktiktuk.ga
Aku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
terjang
Februari 1943
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau
tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Penghabisan kali itu kau datang
membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Kepada Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Beginilah nanti jadinya
Kau kimpoi, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pinti terbuka.
Jadi baik juga kita pahami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggak rangka.
Februari 1943
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Aku tetap meradang menerjang
Berlari
hingga hilang pedih peri
Diponegoro
Di masa pembangunan inituan hidup kembali
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sudah itu mati.
Menyediakan api.
Binasa di atas ditindas
Jika hidup harus merasai.
Serbu.
Serang.
terjang
Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah sekarang yang berkata
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Baca Juga: Puisi Ibu
Sia-Sia
membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Derai-Derai Cemara
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Senja di Pelabuhan Kecil
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap
Doa
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
mengingat Kau penuh seluruh
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
remuk
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Tak Sepadan
Aku kira:Beginilah nanti jadinya
Kau kimpoi, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pinti terbuka.
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggak rangka.
Sumber | gasbanter.com
Tags:
Puisi