Permainan Tradisional, Strategi Tungku dan Kebajikan Bangsa Sejak Dini

     Permainan Tradisional, Strategi Tungku dan Kebajikan
      Bangsa Sejak Dini


Petronela Tata Surya

Indonesia dikenal dengan negara kaya budaya. Pasalnya Indonesia memiliki keragaman budaya, salah satunya permainan trandisional. Seperti yang dikemukakan  oleh sekretaris Jenderal kemendikbud, Didik Suhardi bahwa “Indonesia termasuk negara yang disebut the power of culture atau negara adidaya budaya. Menurutnya hal yang penting adalah memperkenalkan permainan tradisional kepada generasi muda dan mengajak mereka memainkannya, sebab saat ini popularitas permainan tradisional di kalangan generasi muda, kalah bersaing dengan permainan di gawai telepon pintar ataupun computer” (jendela.kemdikbud.go.id/4/12/2020)
Ajakan Didik Suhardi tersebut bukanlah tanpa alasan. Berbagai keresaan sedang tenjadi akibat kecaanduan game onfline dan online terhadap generasi bangsa. Tahun 2012  Koordinator Yayasan Sahabat Kapas, Dian Sasmita mengatakan kecanduan anak-anak pada game online seperti kecanduan pada narkotika dan berpotensi melakukan tindakan criminal dan dampak buruk lainya bakal terjadi pada anak-anak, seperti terisolasi dari lingkungan (Tempo.com, 2012)
Tidak sedang mengabaikan manfaat positif dari permainan game modern, penulis menaruh perhatian  pengaruh negatif yang berpengaruh buruk pada generasi bangsa ini. Mengurangi dampak negative tersebut, Indonesia memiliki banyak permainan tradisional yang kaya akan nilai luhur dan syarat nilai pendidikan yang dapat membentuk karakter. Menyadari potensi itu pemerintah melalui Kemendikbud mengusahakan gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Tentu langkah ini tidak sekader untuk melestarikan permainan tradisional. Namun jauh lebih mulia adalah  untuk meminimalisir akibat negitif yang dapat merosot karakter anak bangsa.
Temuan Yayasan Sahabat Kapas mengonfirmasi hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Hanover Jerman bahwa game online bisa menyebabkan seseorang mengalami kepribadian ganda (Renggani, 2012, dalam Nur. H, 2013: 89).
Diakui bahwa, di samping banyaknya pengaruh negatif terdapat pula manfaat positif, seperti melatih konsentrasi, melatih berpikir cepat, sportifitas, dan lain-lain. Killian Mullan seorang peneliti Universitas Oxford mengungkapkan, tidak ada kecanduan dan kelainan prilaku bagi pencandu game. Walau demikian, Killian Mullan menyarankan main game seacara berlebihan tetap berpengaruh pada mental, bila tidak diimbangani dengan kegiatan fisik dan kegaitan sosial lainnya (kompas.com, 2018).
Hal mengejutkan terjadi selama Pandemi covid-19, bahwa kasus kecanduan internet di Indonesia lima kali lipat dari tahun sebelumnua. Hal tersebut terungkap dari survei yang dilakukakan oleh dr Kristiana Siste Kurniasanti terhadap 2.933 remaja dan 4.734 orang dewasa berusia 20-40 tahun di 33 provinsi Indonesia. Hasilnya, tingkat kecanduan internet pada remaja meningkat hingga 19,3% dengan rata-rata durasi bermain internet selama 11,6 jam per hari. Sementara kecanduan pada orang dewasa meningkat dari 3% sebelum pandemi menjadi 14,4% selama pandemic (Media Indonesia, 29/11/2020)

Perlu Dipikirkan: PPK Awal Solusi
Tidak sedang menarik kesimpulan umum, namun penting untuk dipikirkan  dan dikaji oleh semua pihak sejak dini tentang kecandaun game online dan internet. Hal ini menjadi penting, sebab disaat semakin tingginya akibat negative dari geme online dan internet disaat yang sama kebutuhan akan akses internet semakin tinggi dan peredaran geme online semakin tidak terbendung. Menghentikan akses internet dan membendung peredaran geme online tentu bukanlah solusi untuk mengobati kecanduan. Dibutuhkan kajian mendalam untuk melibatkan semua pihak dalam meminimalisir kecanduan yang berpengaruh pada karakter. 
Secara sederhana kita bisa mengambil salah satu akibat kecanduan geme online atau internet  yakni sikap cenderung menyendiri dan enggan bersosialisi dengan lingkungan. Hal ini menjadi persoalan, karena sikap ini mengarah pada kecanggungan kepribadian untuk berinteraksi bahkan sulit bersosialisasi dengan orang lain. 
Allport (dlm, Gerungan, 2010:25) menjelaskan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem-sistem psiko-fisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik dalam menyusaikan dengan lingkungan. Mengafirmasi gagasan  Allport bahwa individu yang memiliki kepribadian demikian sulit menerima perbedaan, dan enggan mengakui orang lain sebagai bagian dari dirinya. Hal ini  tidak hanya soal perbadaan agama, tetapi juga sejumlah perbedaan karakter setiap invidu dalam kelompok tertentu. Maka munculnya gerakkan PPK adala langkah awal untuk menafaskan tolerasi sebagai kebajikan bangsa. 
Hal ini mengafirmasi gagasan Arie Budhiman staf ahli Pembangunan Karakter Kemendikbud bahwa salah satu tujuan PPK adalah mengembalikan pendidikan karakter sebagai roh dan fondasi melalui harmonisasi olahan hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik), dan lain sebagainya.

Fenomena Intoleransi dan SKB

Bermula dari pristiwa di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat terkait penggunaan seragam sekolah bagi siswi non muslim muncul di mayarakat umum hingga sampai ke Instana. Hingga pada tanggal 3 Februari 2021 terbitlah surat keputusan bersama (SKB) mengenai seragam sekolah telah diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas. 
SKB tersebut adalah regulasi tentang praktek toleransi di sekolah dan arahan sanksi untuk mencegah praktek intorlensi di satuan pendidikan. Tentu langkah ini baik, bila diimbangi dengan kiat-kiat di akar rumput untuk memupupuk nilai tolerasi kepada anak didik.
Usaha menumbuhkan sikap toleransi akan menjadikan toleransi sebagai kebajikan setiap individu dengan strategi “tungku”
Strategi Tungku adalah suatu system yang memberikan tanggungjawab kepada tiga unsur penting yang membentuk tungku tersebut, yakni orang tua, lingkungan sosial dan sekolah. Oleh karena itu, agar SKB tersebut dihidupkan, maka perlu ada regulasi atau semacam pedoman yang bisa diterapkan oleh orang tua dan pemangku kebijakan di lingkungan sosial pada akar rumput. 
Misalnya di lingkungan sosial, hidupkan lagi fungsi RT/RW, Kepala Dusun atau lainya dalam menertibkan kedisiplinan di masyarakat. Sebab diakuai bahwa berbagai praktek intoleransi yang terjadi di negeri ini sebagai salah satu bukti bahwa nilai-nilai toleransi belum mengakar dalam diri setiap anak bangsa. 
Toleransi sebagi kebajikan tidak hanya menyasar untuk menghargai perbedaan budaya dan keyakinan, tetapi asas hidup yang menjamin hak setiap orang. Oleh karena itu, ditengah keberagaman negeri ini, Indonesia harus beralih dari model toleransi belas kasihan menju pada pardigma hak, meninggalkan toleransi pasif berbasis trandisi menuju toleransi otentik yang menekankan pada persamaan ha antar kelompok mayoritas dan minoritas (Otto Gusti, 2017:xi)

Sekolah “Laboratorium” Karekter
Satuan pendidikan sebagai “laboratorium” untuk meneliti sebab munculnya sikap intolerasi dan bertanggungjawab untuk merumuskan strategi guna menghasilkan generasi berkarater dan memiliki kekayaan nilai toleransi. 
Menimbang tujuan PPK, maka permaian tradisional di satuan pendidikan menjadi penting saat ini. 
Permainan tradisional dapat membentuk multi kepribadian setiap individu. Cahyono sebagaimana dikutip oleh Haerani Nur dalam Jurnal Pendidikan Karakter (2013:92-93) menjelaskan bahwa permainan tradisional dapat membentuk karakter positif:  Pertama, belajar berinovasi, karena permainan tradisional cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan sekitar tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi.
Kedua, belajar sosialisasi diri (mengasah potensi interpersonal), sebab setiap permainan anak-anak melibatkan permainan yang relatif banyak. Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan berprestasi, dan taat pada aturan.
Hal senada dijelaskan oleh oleh Misbach (2006:7) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa permainan tradisional dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak yang dapat meliputi hal-hal sebagai berikut: pertama, aspek motorik dengan melatih daya tahan, daya lentur, sensorimotorik, motoric kasar, dan motorik halus; Kedua, aspek kognitif dengan mengembangkan imaginasi, reativitas, problem solving, strategi, kemampuan antisipatif, dan pemahaman kontekstual;
Ketiga, aspek emosi dengan menjadi media katarsis emosional, dapat mengasah empati dan pengendalian diri; Keempat, aspek bahasa berupa pemahaman konsep-konsep nilai. Kelima, Aspek sosial dengan mengkondisikan anak agar dapat menjalin relasi, bekerja sama, melatih kematangan sosial dengan teman sebaya dan meletakkan pondasi untuk melatih keterampilan sosialisasi dengan berlatih peran dengan orang yang lebih dewasa dan masyarakat secara umum; Keenam, aspek spiritual, permainan tradisonal dapat membawa anak untuk menyadari keterhubungan dengan sesuatu yang bersifat Agung.
Ketujuh, aspek ekologis dengan memfasilitasi anak untuk dapat memahami pemanfaatan elemen-elemen alam sekitar secara bijaksana; Kedelapan, Aspek nilai-nilai/moral dengan memfasilitasi anak untuk dapat menghayati nilai-nilai moral yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya (Nur.H, 2013:93).
Menanamkan nilai tolerasi dengan berbagai jenis permainan tradiosional dimulai sejak dini di akar rumput, yakni sekolah dan masyarakat. Menerjemakan jenis permainan tradisional tentu dengan memerhatikan tingkat pendidikan peserta didik. Siswa TK/PAUD dan kelas rendah yang dominan masih tetarik dengan bermain harus dikemas sedemikian rupa agar siswa melahirkan keputusan “merdeka” untuk terlibat dalam permainan tersebut.
Dengan menerapkan permianan tradisional di sekolah atau menguatkan mata pelajaran muatan lokal dapat membentuk insan toleransi sejak dini. Sekolah Sekolah sebagai akar rumput dapat mencipatkan lingkungan sekolah yang menyenangkan dan lingkungan yang merdeka bagi peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai tolerasi melaui kerjasama, gotong royong, saling memililiki, menghargai satu sama lain. Dari sikap tersebut, toleransi sebagai kebajikan tidak sekadar semboyan tetapi ikut bertanggungjawab dalam menciptkan kedamaia dan kerukunan. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama