Arrtikel " Filsafat Pedidikan"

                FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA



A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis dalam bentuk pembinaan, pengarahan, pencerdasan, dan pelatihan yang ditujukan kepada peserta didik secara formal maupun non formal dengan tujuan membentuk peserta didik yang cerdas, berkepribadian, memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat. 
 Filsafat merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu yang dimaksud, dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha  mewujudkan citra tersebut. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. 
Filsafat pendidikan merupakan jawaban secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar pendidikan.   Filsafat dalam pendidikan adalah berfikir secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Djumransyah (2004:10) mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan tersebut. Lebih lanjut, Barnadib (1994:7) mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai “ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat, atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan”. Makalah ini membahas tentang implementasi filsafat pendidikan di Indonesi


B. PEBAHASAN
1. Apa itu Filsafat?
  Filsafat merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya.

A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis dalam bentuk pembinaan, pengarahan, pencerdasan, dan pelatihan yang ditujukan kepada peserta didik secara formal maupun non formal dengan tujuan membentuk peserta didik yang cerdas, berkepribadian, memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat. Lebih lanjut, Taba (dalam Ansyar, 1989, hal. 4) mengungkapkan terdapat tiga fungsi utama pendidikan, yaitu (1) pendidikan sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan, (2) pendidikan sebagai alat bagi usaha transformasi kebudayaan, dan (3) pendidikan sebagai alat bagi pengembangan individu anak.
Filsafat merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu yang dimaksud, dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha  mewujudkan citra tersebut. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. 
Filsafat pendidikan merupakan jawaban secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar pendidikan.
Filsafat dalam pendidikan adalah berfikir secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Djumransyah (2004:10) mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan tersebut. Lebih lanjut, Barnadib (1994:7) mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai “ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat, atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan”. Makalah ini membahas tentang implementasi filsafat pendidikan di Indonesia.

B.   Pembahasan
1.  Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan
Agar uraian tentang filsafat pendidikan mencapai sasarannya, maka perlu dibahas terlebih dahulu aliran-aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut Pidarta (1997: 90-94) sedikitnya terdapat sembilan aliran dalam filsafat pendidikan, yaitu:
a. Filsafat Pendidikan Idealisme 
    Memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, dan Al Ghazali.
b. Filsafat Pendidikan Realisme
    Merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realism adalah: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
c. Filsafat Pendidikan Materialisme: 
     Berpandangan bahwa hakikat materialisme adalah materi, bukan rohani, spiritual, atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialism adalah: Demokritos, Ludwig Feurbach.
d. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
 Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles Sandre Peirce, Wiliam James, John Dewey, dan Heracleitos.
e. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme 
     Memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Filsafat pendidikan eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri.  Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri.  Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana, dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok.  Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia.  Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, dan Paul Tillich.
f. Filsafat Pendidikan Progresivisme 
     Bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah: George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, dan Frederick C. Neff.
g. Filsafat Pendidikan Esensialisme 
      Bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya  mampu membentuk manusia–manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat diperhatikan.  Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, sehingga mempercepat kebiasaan berfikir efektif. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah: William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed. dan Isac L. Kandell. 
h. Filsafat Pendidikan Perenialisme 
       Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
i. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
     Merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. 
2.    Filsafat Pancasila Sebagai Sebuah Aliran Filsafat Pendidikan Indonesia
Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding father kita, yang dituangkan dalam suatu system.
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat  dapat dilakukan dengan cara deduktif dan induktif.
1) Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif.
2) Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu. 
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1) Nilai Dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
2) Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3) Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat. 
Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai manusia Indonesia.
Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, dan sebagainya. Perbedaannya terletak pada Pancasila berusaha mengakomodasi dan menggabungkan dengan mengambil isi dari aliran-aliran filsafat tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian, sehingga filsafat Pancasila berbeda dengan aliran-aliran tersebut dan ini menjadi satu ciri khas ke-Indonesia-an dari aliran  filsafat pendidikan di Indonesia. 

3.  Peranan Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan 
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidikan. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik. 
4.  Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan
a. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin pada kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan  harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus.

b. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal tersebut dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah  pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagai bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut di atas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila diimplementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai di dalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan di dalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan di dalam bagian uraian dimuka, dirumuskan ke dalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian di dalam menilai perancang dan implementasi program, maupun di dalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.

4.  Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik  terhadap pendidikan itu sendiri.
Suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal sebagai berikut :
1) Lebih dari separoh responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran.
2) Hampir separoh responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
3) Para mahasiswa dan dosen berpendapat pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan.
4) Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. 
5) Karena keragaman pandangan di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan bahwa “guru tidak mendidik melainkan mengajar” dan sebagian lagi menolak.
Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat ditarik sejumlah masalah berkaitan dengan ilmu pendidikan, yaitu :
1) Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
2) Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan.
3) Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
4) Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
5) Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
6) Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum ditangani.  Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterapkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.


C.  Kesimpulan
 Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat, yakni merupakan  aktivitas pemikiran teratur ang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan tersebut.
 Pancasila sebagai sistem filsafat Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, dan sebagainya. Pancasila berusaha mengakomodasi dan menggabungkan aliran-aliran filsafat  dunia yang menjadi ciri khas ke-Indonesia-an dari aliran  filsafat pendidikan di Indonesia. 
Untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.


Sumber/ Rujukan

Ansyar, Mohammad, 1989. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdiknas.

Bernadi, Imam, 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Ofset.

Darma Putra, Eka, 1988. Pancasila, Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Djumransyah, “Filsafat Pendidikan (2004)”, Malang : Bayumedia







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama